Slider

video

Tarikh Khulafa

Ekspansi Militer

Khalifah

Event

Sejarah

Gallery

HISABLAH DIRIMU SEBELUM KAMU DIHISAB


 Oleh : Zen Yusuf Choudry. MSi

Dalam perjalanan hidup setelah mati, semua manusia akan menjalani beberapa fase yang menjadi proses penyeleksian yang akan menentukan apakah nantinya seorang manusia dicampakkan ke neraka ataupun menjadi penghuni surga. Salah satu proses yang harus dilalui adalah Mizan, yaitu ketika semua manusia akan ditimbang amalnya, antara amal kebaikan dan keburukan yang pernah ia lakukan di dunia.

Setiap orang akan ditimbang dengan seadil-adilnya, dan Allah tidak akan pernah menzalimi hamba-Nya dalam timbangan tersebut. Allah berfirman:

و نَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Q.S. Al-anbiya’: 47).

Meskipun yang dipahami kebanyakan orang bahwa yang ditimbang adalah amal, namun setidaknya ada tiga pendapat para ulama mengenai bagaimana proses mizan ini dilakukan:

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa yang ditimbang adalah amalnya, hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

  كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ، حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ

“Ada dua kalimat yang ringan diucapkan oleh lisan, tetapi berat dalam timbangan (pada hari Kiamat), dan dicintai oleh ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih): Subhaanallohi wa bihamdihi dan Subhanallohil ‘Azhim.” (Hadis shalih diiriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6406, 6682, dan Muslim, 2694).

Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Hajar al-Ashqalani rahimahullah. Beliau berpendapat bahwa yang ditimbang adalah amal, karena Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ شَيْءٍ فِي الْمِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat ketika ditimbang (di hari Kiamat) daripada akhlak yang mulia.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, no. 270 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahiih al-Adab al-Mufrad, no. 204)

Kedua, yang ditimbang adalah orangnya. Ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah orangnya. Berat atau ringannya timbangan tergantung pada keimanannya, bukan berdasarkan ukuran tubuh, berat badannya, atau banyaknya daging yang ada di tubuh mereka. Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ

“Sesungguhnya pada hari Kiamat nanti ada seorang laki-laki yang besar dan gemuk, tetapi ketika ditimbang di sisi Allah, tidak sampai seberat sayap nyamuk.” Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Bacalah..

 فَلاَ نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا

“Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105). (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4729 dan Muslim, no. 2785)

Abdullah ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘Anhu adalah seorang sahabat yang memiliki ukuran betis kecil. Tatkala ia mengambil ranting pohon untuk siwak, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang dan menyingkap pakaiannya, sehingga terlihatlah kedua telapak kaki dan betisnya yang kecil. Para sahabat yang melihatnya pun tertawa. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang sedang kalian tertawakan?” Para sahabat menjawab, “Kedua betisnya yang kecil, wahai Nabiyullah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ أُحُدٍ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kedua betisnya itu di mizan nanti lebih berat dari pada gunung uhud.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, I/420-421 dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir, IX/75. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shohihah, no. 3192).

Ketiga, yang ditimbang adalah lembaran catatan amal, sebagaimana diterangkan dalam hadis bithaqah (kartu). Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-`Ash Radhiyallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): “Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari Kiamat dimana ketika itu dibentangkan 99 gulungan catatan (dosa) miliknya. Setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang, kemudian Allah berfirman: ‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini? Apakah para (Malaikat) pencatat amal telah menganiayamu?,’ Dia menjawab: ‘Tidak wahai Rabbku,’ Allah bertanya: ‘Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?,’ Dia menjawab: ‘Tidak Wahai Rabbku.’ Allah berfirman: “Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikitpun. Kemudian dikeluarkanlah sebuah kartu (bithoqoh) yang di dalamnya terdapat kalimat:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

Lalu Allah berfirman: ‘Hadirkan timbanganmu.’ Dia berkata: ‘Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh gulungan (dosa) itu?,’ Allah berfirman: ‘Sungguh kamu tidak akan dianiaya.’ Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (dosa) tersebut terangkat dan kartu (laa ilaaha illallah) lebih berat. Demikianlah tidak ada satu pun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat Nama Allah.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2639, Ibnu Majah, no. 4300, Al-Hakim, 1/6, 529, dan Ahmad, no. II/213. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam Silsilah Ahaadiits ash-Shahiihah, no. 135)

Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh al-Qurthubi. Beliau mengatakan, “Yang benar, mizan menimbang berat atau ringannya buku-buku yang berisikan catatan amal…” (At-Tadzkirah, hal. 313)
Tiga pendapat di atas tidak saling bertentangan satu sama lain, dengan pemahaman bahwa sebagian orang ada yang ditimbang amalnya, sebagian yang lain ditimbang buku catatannya, dan sebagian yang lain ditimbang dirinya.

Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa secara umum yang ditimbang adalah amal perbuatannya, karena kebanyakan dalil-dalil menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan. Adapun timbangan buku catatan amal dan pelakunya, maka itu khusus untuk sebagian orang saja. (Syarah al-`Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 390)

Dari uraian di atas, kita dapat melihat betapa tingginya kedudukan para salafus saleh, dalam hal ini sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa kedua betis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu lebih berat jika ditimbang dengan gunung Uhud yang dicintai Allah. Di sisi lain, kita mengetahui bahwa ada orang yang besar, gagah, gemuk, mungkin berpenampilan menakjubkan dan meyakinkan, namun saat ditimbang di hari kiamat kelak, tidak lebih berat timbangannya daripada sayap seekor nyamuk. Na’udzu billah min dzalik.

Hendaknya hal ini dapat memberikan motivasi kepada kita agar kita giat beramal dengan tulus ikhlas mengharap pahala dan wajah Allah, supaya kelak jika amalan kita ditimbang, kebaikan kita akan lebih berat dari pada keburukan kita. Allah SWT berfirman:

فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ

Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (QS. Al-Qariah: 6-9)

Dan jangan kita biarkan setan memperdayai kita sebagaimana kebanyakan orang-orang yang tertipu bahwa setan membuat mereka merasa memiliki amalan yang banyak dan merasa sudah mempunyai bergunung-gunung pahala, padahal sisi Allah hakekatnya belum diketahui apakah amalan yang telah dilakukan diterima ataukah tertolak.

Ada baiknya selagi kita masih hidup untuk sering menghitung-hitung amal kita dan mencoba-coba untuk menimbang antara kebaikan dan keburukan kita. Sungguh beruntunglah orang yang rajin bermuhasabah atas dirinya. Seorang sahabat r.a. pernah berkata:

حاسبوا انفسكم قبل ان تحاسبوا و زنوا قبل ان توزنوا

Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab di hari kiamat, dan timbanglah amalmu sebelum engkau ditimbang di hari kiamat.

Hisab di hari kiamat akan menjadi ringan bagi siapapun yang menghisab dirinya di dunia. Dan insyaAllah timbangan kebaikan di akherat akan menjadi lebih berat bagi siapapun yang menimbang amalannya di dunia.
Akhirnya kita memohon kepada Allah SWT agar memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita, dimudahkan bagi kita untuk melakukan kebaikan-kebaikan di dunia ini, sehingga timbangan kebaikan kita lebih berat daripada keburukan kita. Dan semoga kelak kita dikumpulkan dengan para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan shalihin. Wallahu A`lam. 

Kairo, 31 Desember 2013

ISRAILIYAT DAN HADIS-HADIS MAUDHU` DALAM BUKU-BUKU TAFSIR



Oleh : Asrizal Mustafa Lc.

Mukadimah

Sebagian orang anti dengan buku-buku tafsir yang didalamnya terdapat israiliyat dan hadis-hadis palsu. Mereka mengangap bahwa hal itu adalah ancaman bagi islam. Karena itu mereka berusaha menghalangi manusia dari menelaah buku-buku tersebut. Bahkan ada sebagian orang yang bermaksud melenyapkan keberadaan buku-buku tersebut dari peredaran, demi menjaga kemurnian islam. 

Akan tetapi pandangan seperti ini adalah suatu hal yang berlebihan. Karena dalam buku-buku tersebut menyimpan banyak ilmu-ilmu yang bermanfaat dan juga pengetahuan keislaman yang bisa diambil. Hal-hal yang baik dalam buku-buku tersebut lebih banyak daripada yang buruk. Apakah dibenarkan dengan alasan untuk menghilangkan yang buruk justru kita menghilangkan banyak kebaikan?! Sedangkan terdapat banyak ulama yang bisa memisahkan antara yang sahih dan yang dha’if.

1. Sebagian mereka berinisiatif memisahkan israiliyat dan hadis-hadis palsu dari buku-buku tafsir,  mengumpulkannya menjadi satu buku untuk kemudian dijauhkan dari peredaran orang-orang awam. Kemudian menyebarluaskan buku-buku yang sudah bersih dari israiliyat dan hadits-hadits palsu. Pendapat kedua ini tidak terlalu berlebihan. Akan tetapi mungkinkah hal ini dilakukan?!
Dan juga, meskipun israiliyat dan hadits palsu tersebut tidak memiliki nilai dalam syariat agama kita jika dinisbatkan kepada Nabi Saw maupun sahabat karena hal tersebut tidak murni ajaran islam, tetapi dimata sebagian pengkaji mempunyai nilai ilmiyah. Karena israiliyat tersebut dapat menceritakan pengetahuan suatu kaum pada suatu masa.

2. Sebagian yang lain menginginkan israiliyat dan hadits palsu tetap ada dalam buku-buku tafsir. Namun dengan memberikan catatan bahwa itu adalah ‘dakhil’ dalam islam, serta memberikan bantahan secara ilmiah supaya manusia selamat dari sisi negatif riwayat-riwayat tersebut. 

Definisi Israiliyat dan Hadis Maudhu’
A.     Israiliyat
 
Israiliyat adalah kata bentuk jamak dari kata Israiliyah yang merupakan isim yang  di-nisbat-kan kepada “Israil”, berasal dari bahasa Ibrani yang artinya “Hamba Tuhan”. Dan yang dimaksud dengan Israil dalam konteks ini adalah Nabi Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim As.[1]

Ibn Katsir dan lainnya menyebutkan dalil bahwa Ya’qub adalah Israil melalui hadis riwayat Abu Dawud Al-Tayalisi dari Abdullah ibn Abbas ra. yang menyatakan: “Sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi Saw., lalu beliau bertanya kepada mereka : “Tahukah kalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah Nabi Ya’qub As.?” Mereka menjawab: “Benar”. Kemudian Nabi berkata: “Wahai Tuhanku, saksikanlah pengakuan mereka ini!”.[2]
 
Secara terminologis, Ibnu Qayyim menjelaskan, bahwa israiliyah merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadits di mana periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak. Dan kenyataannya kisah-kisah tersebut merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang masuk ke Jazirah Arab yang di bawa orang-orang Yahudi.[3]

Para ahli tafsir dan hadits juga beberapa cendikiawan muslim lainnya menggunakan istilah tersebut  dalam arti yang beragam. 

Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah memaparkan Israiliyat sebagai berikut : “Cerita, dongeng, khurafat, yang dibuat oleh sumber Yahudi untuk menimbulkan keraguan terhadap ajaran Islam dan memalingkan manusia dari ajarannya”.[4]
 
Husain Al-Zahabi mengemukakan masalah ini dalam dua pengertian:
1. Kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadits, yang asal periwayatannya kembali kepada sumber Yahudi, Nasrani, atau yang lain.

2. Sebagian ahli tafsir dan hadits memperluas lagi pengertian Israiliyat ini sehingga mencakup pula cerita-cerita yang sengaja diselundupkan  oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits, yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.[5]

Adapun Dr. Ahmad Khalil mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Israiliyat itu ialah kisah-kisah dan riwayat-riwayat dari ahli kitab, baik yang ada hubungannya dengan ajaran-ajaran agama mereka maupun yang tidak ada hubungannya. Ringkasnya, kisah-kisah itu diriwayatkan dari jalan mereka.[6]

Menurut Amin Al-Khuli, kisah-kisah Israiliyat itu merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang merembes masuk ke jazirah Arabi Islam karena memang sebagian kisah-kisah itu dibawa oleh orang-orang Yahudi yang sudah sejak dahulu kala berkelana ke arah timur  menuju Babilonia dan sekitarnya serta ke arah barat menuju Mesir. Setelah kembali ke negeri asal,
mereka membawa pulang bermacam-macam berita keragamaan yang dijumpai di negeri-negeri yang mereka singgahi.[7]

Bahkan sebagian Ulama Tafsir dan hadis telah memperluas makna israiliyat menjadi cerita yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik yang datang dari Yahudi maupun dari sumber-sumber lainnya. Hal demikian itu lalu dimasukkan kedalam tafsir dan hadis, walaupun cerita itu bukan cerita lama dan memang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang sengaja akan merusak akidah kaum Muslimin. Dan ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan di saat membaca kisah-kisah dalam Al Quran terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.

Para sahabat menaruh perhatian khusus terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan. Mereka tidak menerima begitu saja segala apa yang diterangkan oleh ahli kitab. Mereka teliti terlebih dahulu kebenarannya sebatas kemampuan mereka. Dan apabila ternyata yang diberitakan itu salah, mereka tidak segan-segan menolaknya. Sesuai pesan Rasulullah Saw. dalam haditsnya:
ولا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم, وقولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا… (رواه البخاري)
“Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami…” (HR. Bukhari) Dan dalam hadis lain Nabi memperingatkan para penyampai berita maupun kisah-kisah itu agar tidak menyimpang dalam menceritakannya.
بلغوا عنى ولو آية, وحدثوا عن بنى اسرائل ولا حرج, ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (أخرجه البخارى)
“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian tidak di larang. Tetapi barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka (HR. Bukhari).

Dua hadist tersebut tidak bertentangan karena yang pertama menyiratkan kemungkinan benar dan salahnya sebuah cerita, sedang hadist berikutnya menunjukkan kebolehan menerima cerita dari Bani israil, meskipun harus dengan aturan yang ‘sangat ketat’, diantaranya adalah kejelasan Sanadnya.

B.     Hadis Maudhu’ (Palsu)
 
Secara etimologis merupakan bentuk isim Maf’ul dari يضع – وضع. Dalam bahasa arab kata وضع memiliki beberapa makna. Antara lain menggugurkan, mengada-ada, dan membuat-buat.
Sedangkan menurut istilah, Imam Nawawi mengatakan:
هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ، وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ فِيْ أَيِّ مَعْنًى كَانَ إِلاَّ مُبَيَّناً.
“Hadis maudhu’ (palsu) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhaif yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan”.[8]

Inti dari penjelasan Imam Nawawi di atas adalah hadis maudhu’ itu sebenarnya bukanlah hadis Nabi, tetapi dipalsukan sebagai hadis Nabi. Pemalsu hadis mengatakan bahwa apa yang diriwayatkannya adalah hadis Nabi, padahal sebenarnya bukan hadis. Isi hadis palsu tidaklah selalu buruk atau bertentangan dengan ketentuan umum ajaran Islam. Hal itu dapat dimengerti bahwa sebagian dari tujuan pembuatan hadis maudhu’ adalah untuk kepentingan dakwah dan ajakan hidup yang zuhud. Walaupun demikian haram hukumnya meriwayatkan hadis maudhu’ kecuali dengan penjelasan kepalsuannya.

Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta atas diriku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
Jika dilihat dari konteksnya, setidaknya ada dua bentuk hadis maudhu’:
  1. Perkataan itu berasal dari pemalsu, kemudian disandarkan kepada Rasulullah Saw., sahabat maupun tabiin.
  2. Pemalsu mengambil perkataan itu dari sebagian sahabat, tabiin, sufi, ahli hikmah, orang zuhud atau israiliyyat dan kemudian disandarkan kepada Nabi Saw.[9]
Contoh hadis maudhu’ yang diambil dari perkataan sahabat adalah:
أحب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما, وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوم ما[10]
Yang benar perkataan tersebut adalah milik Ali ra., dan bukan hadis Nabi Saw. Tema israiliyat yang banyak dinisbatkan kepada Nabi, sahabat maupun tabiin adalah kisah awal mula penciptaan, kisah umat terdahulu, penciptaan alam semesta, kisah para nabi dan lain sebagainya. 

Hukum Berdusta Atas Nama Nabi

Menurut jumhur ulama berdusta atas nabi merupakan dosa besar. Pelakunya tidak sampai kafir, kecuali ia melakukannya dan menghalalkan berdusta atas nabi. Bahkan imam Abu Muhammad Al Juwaini sangat keras dalam hal ini. Ia berkata: “Telah kufur siapa saja yang dengan sengaja berdusta atas nabi”. Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sebagaimana berdusta atas nama orang lain. Maka barangsiapa yang berdusta secara sengaja atas namaku maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Berdusta atas nama sahabat maupun tabiin masuk dalam kategori mendustakan nabi. Namun hukum berdusta atas nama sahabat dan tabiin tidak seperti berdusta atas nabi yang bisa sampai kufur. Tidak masuk berdusta atas nabi, periwayatan hadist dengan makna. Sebagaimana ulama membolehkannya, dengan catatan ia paham betul dengan lafaz dan maksud hadits secara terperinci. 

Hukum Periwayatan Israiliyat

Banyak dalil baik dari Al Qur’an maupun sunnah yang melarang periwayatan israiliyat. Namun tidak sedikit pula dalil yang membolehkannya. Maka kita akan memilih jalan tengah diantara keduanya. Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Riwayat Israiliyat yang sesuai dengan syariat kita, boleh kita percayai dan boleh meriwayatkannya. Riwayat yang menyelisihi syariat kita, kita tidak boleh mempercayai riwayat tersebut, dan haram meriwayatkannya kecuali dengan keterangan akan kebatilannya. Adapun riwayat yang kita tidak mengetahui kebenaran ataupun kebohongannya, kita tawaquf dengan tidak membenarkan ataupun mendustakannya. Dan boleh hukumnya untuk sekedar meriwayatkannya. Karena kebanyakan riwayat tersebut hanyalah kisah-kisah umat terdahulu dan tidak berkaitan dengan akidah.[11] Hal ini sesuai dengan pesan nabi Saw.: “Jangan kamu benarkankan ahli kitab itu dan jangan pula kamu dustakan mereka, dan katakana lah kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”.(HR. Bukhari)

Pengaruh Kisah Israiliyat 

Akibat negatif yang ditimbulkan oleh adanya riwayat-riwayat Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir, karena mengandung kebatilan, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Riwayat-riwayat itu dapat merusak aqidah umat Islam sebagai contoh, riwayat yang dibawakan oleh Muqatil maupun Ibn Jarir tentang kisah Nabi Daud As. dengan isteri salah seorang panglimanya, demikian pula kisah Nabi Muhammad Saw. dengan Zainab binti Jahri. Kedua riwayat itu dapat memberikan gambaran yang keji terhadap pribadi-pribadi Nabi yang ma’shum dengan gambaran sebagai manusia yang didukung oleh hawa nafsu.

2. Riwayat-riwayat tersebut dapat memberikan gambaran seakan-akan Islam itu agama khurafat, takhayul yang menyesatkan. Sebagai contoh antara lain ialah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi dari Ibn Abbas Ra. tentang arti kata Ra’dun: “Orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi Saw. tentang ‘guruh’ : ‘Apakah sebenarnya guruh itu?’ Nabi menjawab, ‘Guruh itu adalah malaikat yang diberi tugas menjaga awan dengan membawa alat-alat pembakar dari api yang digunakannya untuk mengendalikan awan menurut kehendak Allah’. Kemudian mereka bertanya lagi, ‘Lalu suara yang kita dengar itu sebenarnya apa?’ Nabi menjawab, “Suara itu adalah bentakan malaikat tatkala membentak awan sehingga awan itu menurut kepada kehendak Allah’. Kemudian mereka berkata, ‘Engkau benar, wahai Muhammad”.[12] 

3. Riwayat-riwayat tersebut hampir dapat menghilangkan kepercayaan terhadap sebagian ulama salaf, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in seperti Abu Hurairah, Abdullah ibn Salam, Ka’ab Al-Ahbar dan Wahab ibn Munabbih  yang oleh sementara orientalis seperti Goldzihe dalam bukunya, Muzahaib Al-Tafsir Al-Islami, diisyukan sebagai orang-orang yang sengaja diselundupkan ke dalam Islam oleh musuh-musuhnya.[13]

Tuduhan serupa telah dilontarkan pula oleh beberapa penulis muslim seperti Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya, Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyah,  dan dengan cara terselubung oleh Dr. Ahmad Amin dalam  Fajr Al-Islam. Bahkan Al-Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengambil sikap yang jauh berbeda sebagaimana dikatakannya:  “Dan kebanyakan Israiliyat itu merupakan khurafat dan kepalsuan yang dibenarkan begitu saja oleh para perawi sampai pula oleh sebagian perawi dari kalangan shahabat”.[14]
  1.  Riwayat ini hampir menyita perhatian manusia dari mendalami maksud diturunkannya Al-Quran menuju kepada pembahasan sepele yang sedikit sekali faedahnya. Sebagai contoh antara lain tentang nama dan warna anjing Ashab   Al-Kahf dan nama-nama binatang yang diikutsertakan dalam bahtera Nabi Nuh As. Memang menurut Ibn Katsir, perincian hal tersebut tidak ada faedahnya untuk diketahui. Andaikata hal itu ada faedahnya, niscaya Al-Quran menyebutkannya.
  2. Riwayat-riwayat tersebut hampir menimbulkan sikap apriori terhadap hampir semua kitab tafsir di kalangan sebagian peminat ilmu tafsir karena, menurut persangkaan mereka, semua kitab itu berasal dari sumber yang sama.
Diantara Tokoh-Tokoh Israiliyat 

Menurut Al-Qattan, kebanyakan riwayat yang disebut Israiliyat itu dihubungkan kepada empat nama yang terkenal yaitu, Abdulah Ibn Salam, Ka’b Al-Akhbar, Wahab Ibn Munabbih, dan Abd Al Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraij.[15] Berikut ini akan dikemukakan selintas tentang identitas keempat tokoh tersebut, terutama penilaian ahli hadis tentang ‘adalah mereka, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dan keabsahan riwayat mereka.
1. Abdullah Bin Salam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdulah Ibn Salam Ibn Harits Al-Israil Al-Anshari. Semula ia bernama “Al Hashin” yang diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah ketika ia menyatakan keislamannya sesaat sesudah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah. Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah. Ada dua ayat AlQuran yang diturunkan berkenaan dengan dirinya.[16] Dia termasuk di antara para sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga oleh Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan Islam, dia termasuk mujahid di Perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait Al-Maqdis ke tangan kaum Muslimin bersama Umar ibn Khathab. Pada waktu Khalifah Utsman Ibn Affan dikepung oleh kaum pemberontak, dia ke luar menemui mereka atas izin Khalifah untuk membubarkannya, tetapi nasihat-nasihatnya tidak didengar mereka, malah dia diancam mau dibunuh. Dia meninggal di Madinah pada tahun 43 H. Sebagai seorang sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Salam juga banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan darinya oleh kedua putranya yaitu Yusuf dan Muhammad, ‘Auf Ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Bardah Ibn Musa, ‘Atha Ibnu Yasar, dan lain-lain. Imam Al-Bukhari juga memasukkan beberapa buah hadis yang diriwayatkannya dan Rasulullah dalam Jami’ Shahih-nya.
Dan segi ‘adalah-nya, kalangan ahli hadis dan tafsir tidak ada yang meragukan. Ketinggian ilmu pengetahuannya diakui sebagai seorang yang paling ‘alim di kalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk Islam dan sesudah masuk Islam. Dalam pandangan Mu’adz Ibn Jabal, ia termasuk salah seorang dan empat orang sahabat yang mempunyai otoritas di bidang ilmu dan iman. Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepadanya; di antaranya Tafsir Ath Thabari. Meskipun demikian, dimungkinkan pula bahwa di antara riwayat tersebut ada yang tidak mempunyai sanad yang benar kepadanya.Oleh sebab itu, menurut Adz-Dzahabi, dapat saja ada di antara riwayat-riwayat itu yang tidak bisa diterima.
2. Ka’ab Al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab Ibn Mani Al-Himyari. Kemudian beliau terkenal dengan gelar Ka’ab Al Akhbar, karena kedalaman ilmu pengetahuannya. Dia berasal dan Yahudi Yaman, dan keluarga Zi Ra’in, dan ada yang mengatakan dari Zi Kila’. Sejarah masuk Islarnnya ada beberapa versi. Menurut Ibn Hajar, dia masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khathab, lalu berpindah ke Madinah, ikut dalam penyerbuan Islam ke Syam, dan akhirnya pindah ke sana pada masa pemerintahan Khalifah Utsman Ibnu Affan, sampai meninggal pada tahun 32 H di Horns dalam usia 140 tahun. Ibn Sa’ad memasukkan Ka’ab Al-Akhbar dalam tingkatan pertama dan tabi’in di Syam. Sebagai seorang tabi’in, ia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Rasulullah secara mursal, dan Umar, Shuhaib, dan Aisyah. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Atha bin Rabah, dan lain-lain.
Dan segi kedalaman ilmunya, beberapa orang sahabat seperti Abu Darda dan Mu’awiyah mengakuinya. Malah menurut Abdullah Ibn Zubair, dia mempunyai semacam prediksi yang tepat. Di samping itu, sekalipun telah masuk Islam, beliau masih tetap membaca dan mempelajari Taurat dan sumber-sumber Ahli Kitab lainnya.
Adapun dan segi ‘adalah, tokoh ini termasuk seorang yang kontroversi. Namun, Adz-Dzahabi tidak sependapat, malah menolak segala alasan sebagian orang yang menuduh Ka’ab sebagai pendusta, malah meragukan keislamannya. Dia beralasan, antara lain bahwa para sahabat seperti Ibn Abbas dan Abu Hurairah, mustahil mereka mengambil riwayat dan seorang Ka’ab yang pendusta. Malah para muhadditsin seperti Imam Muslim juga memasukkan beberapa hadis dan Ka’ab ke dalam kitab Shahih-nya. Begitu pula yang lainnya seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai juga melakukan hal yang sama dalam kitab Sunan mereka. Sehingga menurut Adz Dzahabi, tentu saja mereka menganggap Ka’ab sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah. Di lain pihak, Ahmad Amin dan Rasyid Ridha menuduh Ka’ab sebagai seorang pendusta, tidak dapat diterima riwayatnya, malah berbahaya bagi Islam. Mereka beralasan, karena ada sementara muhadditsin yang sama sekali tidak menerima riwayatnya seperti lbn Qutaibah dan An-Nawawi, sedangkan Ath-Thabari hanya sedikit meriwayatkan darinya, malah dia dituduh terlibat dalam pembunuhan Khalifah beberapa hari sebelum terbunuh. Akan tetapi, alasan Amin dan Rasyid Ridha yang memperkuat pendapat Ibnu Taimiyah sebelumnya, dibantah tegas oleh Adz-Dzahabi yang tetap beranggapan bahwa Ka’ab Al-Akhbar adalah seorang yang cukup ‘adil dan tsiqah. Meskipun demikian, tokoh Ka’ab Al-Akhbar tetap dianggap sebagai tokoh Israiliyat yang kontroversial.
3. Wahab Bin Munabbih
Nama lengkapnya adalah Abu Abdilah Wahab Ibn Munabbih Ibn Sij Ibn Zinas Al-Yamani Al-Sha’ani. Lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman, dan meninggal pada tahun 110 H. Ayahnya, Munabbih Ibn Sij masuk Islam pada masa Rasulullah SAW.
Wahab termasuk di antara tokoh ulama pada masa tabi’in. Sebagai seorang muhaddits, dia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Hudry, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn ‘Amr Ibn Al-’Ash, Jabir, Anas dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya yaitu Abdullah dan Abd Al-Rahman, ‘Amr Ibn Dinar dan lain-lain. Imam Bukhari, Muslim, Nasal, Tirmidzi, dan Abu Dawud memasukkan hadis-hadis yang diriwayatkan Wahab ke dalam kitab kumpulan hadis mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka menilainya sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah.
Sebagaimana Ka’ab, Wahab juga mendapat sorotan tajam dan sementara ahli yang menuduhnya sebagai seorang pendusta dan berbahaya bagi Islam dengan cerita-cerita Israiliyat yang banyak dikemukakannya. Akan tetapi, Adz-Dzahabi juga membela Wahab, meskipun dia juga mengakui ketokohan Wahab di bidang cerita-cerita Israiliyat. Namun, dia menganggap pribadi Wahab sebagai sosok yang ‘adil dan tsiqah sebagaimana penilaian mayoritas muhadditsin, seperti disebut di atas. Di samping itu, diakui pula kealiman dan kesufian hidupnya. Dengan mikian, dia juga seorang tokoh yang kontroversial.
2. Abd Al-Malik Ibn Abd Al-’Aziz Ibn Juraij
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid (Abu Al-Khalid) Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraiz Al-Amawi. Dia berasal dan bangsa Romawi yang beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H di Mekah dan meninggal pada tahun 150 H. Dia terbilang salah satu tokoh di Mekah dan sebagai pelopor penulisan kitab di daerah Hijaz. Sebagai seorang Muhaddits, dia banyak meriwayatkan hadis dan ayahnya, Atha Ibn Abi Rabah Zaid Abi Aslam, Az-Zuhri, dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya yakni, Abd Al-Aziz dan Muhammad, Al-Auzai’ Al-Laits, Yahya Ibn Hanbal yang menilai hadis-hadisnya banyak yang maudhu’. Kelemahannya, menurut penilaian Imam Malik, dia tidak kritis dalam mengambil riwayatnya dari seseorang, sehingga Adz-Dzahabi memperingatkan para mufasirin supaya menghindari masuknya riwayat Ibn Juraij ke dalam karyanya, karena dianggap sebagai suatu karya yang lemah.

Makalah disampakan dalam kajian mingguan rumah bawah Hay Sabe`.


[1] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah As-sunnah, 1426 H.
[2] Ahmad  Muhammad  Syakir,   Umdah Al-Tafsir ‘An Al-Hafidz Ibn Katsir, 1, Dar Ma’arif, Mesir, 1956
[3] Ibn Qayyim Al-Jauziyah: -Sukardi KD,Ed:, Belajar Mudah ‘Ulum Al Quran;277
[4] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah  As-sunnah, 1426 H.
[5] Husain Al-Zahabi,  Al-Israiliyat Fi Al-Tafsir Wa Al-Hadits, Majma’ Al-Buhus Al-Islamiyah, Kairo, 1971
[6] Ahmad  Khalil,  Dirasat  Fi  Al-Qur’an,  Dar Maarif,  Mesir, h. 113
[7] Ahmad Al-Khuli, Manahij Al-Tajdid, Dar Ma’rifah, Cairo, 1961, h. 277
[8] Imam Nawawi, at-Taqrib, juz 1, hlm. 6.
[9] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah  As-sunnah, 1426 H.
[10] Imam Bukhari, Adab al Mufrad
[11] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah  As-sunnah, 1426 H.
[12] Al-Qurthubi,   Al-Jami’ Li Ahkam  Al-Quran,   Dar  Al-Kitab Al-Arabi, Cairo, 1967, h. 217
[13] Ignaz Goldziher, Mazahaib Al-Tafsir Al-Islam,  alih  bahasa Abd. Halim Al-Najjar, Makatabah Al-Islami, Mesir, 1995, h. 87
[14] Al-Sayyid Muhammad Ridha, Tafsir Al-Manar, I, Dar Al-Manar, Cairo, 1373 H, h. 8
[15] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, (Mesir: Mathal ba’ah Lajnah Ai-Ta’lif wa Ai-Nasr,1952), Jiid II, him. 310
[16] Manna’ Al-Qattan, Mahabis Fi ‘Lilumi Al Qu’ran (Mesir: Mansyurat Ai’Ashari AlHadis, 1973), cet. Ke—2, him. 355.

ORANG-ORANG HEBAT YANG MASUK NERAKA



Oleh: Zein Yusuf Choudry. MSi

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، قَالَ:  تَفَرَّقَ
النَّاسُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَقَالَ لَهُ نَاتِلُ أَهْلِ الشَّامِ: أَيُّهَا الشَّيْخُ، حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:  نَعَمْ، سَمِعْت رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول: إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ 
 عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ          
  
TERJEMAH HADIS

Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Habib Al-Haritsi, (Dia - Yahya bin Habib Al-Haritsi telah berkata) Telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Al-Haritsi, (Dia - Khalid bin Al-Haritsi berkata) telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, (Ibnu Juraij berkata) telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yusuf, dari Sulaiman bin Yasaar, Dia (Sulaiman bin Yasaar) berkata, Ketika orang-orang telah meninggalkan Abu Hurairah, maka berkatalah Naatil bin Qais al Hizamy Asy-Syamiy (seorang penduduk palestine beliau adalah seorang tabiin), "Wahai Syaikh, ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang Engkau telah dengar dari Rasulullah Shollallahu'alaihi wassalam, Ya (Aku akan ceritakan - Jawab Abu Hurairah), Aku telah mendengar Rasulullah Shollallahu'alaihi wassalam bersabda: "Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur-an hanyalah karena engkau.' Allah berkata : 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang 'alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur-an supaya dikatakan seorang qari' (pembaca al-Qur-an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.”

TAKHRIJ HADIS

Hadits ini diriwayatkan oleh:  Imam Muslim, di dalam Kitabul Imarah bab Man Qaatala lir Riya' was Sum'ah Istahaqqannar VI/47 atau III/1513-1514 no. 1905; An-Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala : Fulan Jari', Sunan Nasa-i VI/23-24, Ahmad dalam Musnadnya II/322 dan Baihaqi IX/168.

PENJELASAN HADIS

Tiga kelompok manusia yang memiliki kedudukan sangat mulia dan terhormat di mata manusia, mereka adalah orang alim, para dermawaan, dan orang yang gugur di medan perang.

1. Orang alim, yang dimaksud adalah orang yang berilmu tinggi tentang agama, mempelajari dan memahami Alquran, dan bahkan mengajarkannya. Mereka ini di masyarakat awam biasanya dijadikan panutan, sebagai rujukan atas berbagai masalah yang dihadapi, juga menjadi tokoh yang dihormati sekaligus disegani.
2. Orang dermawan, yaitu mereka yang rajin bersedekah dan selalu berbagi terutama untuk mereka yang membutuhkan. Semua orang akan bersimpati, hormat, bahkan ingin selalu mendekat dengan para dermawan. 
3. Pahlawan yang gugur di medan perang, namanya akan selalu dikenang di masyarakat umum karena telah berani mengorbankan jiwa dan raga untuk suatu tujuan mulia.
Dalam pandangan agama, tiga kedudukan di atas memiliki posisi yang sangat agung dan terpuji di sisi Allah jika keadaan ketiganya tulus dan bertujuan benar. Namun, hadis yang cukup populer di atas berbicara tentang tiga golongan tersebut yang nyatanya ketiganya menjadi penghuni neraka. Sungguh suatu peringatan yang sangat tegas bahwa orang yang berkedudukan tinggi dan mulia di mata manusia ternyata bisa dicampakkan ke neraka pertama kali jika tidak mampu menyelamatkan hatinya dari sifat yang sangat sangat tercela.

Semua orang berkeinginan menjadi orang alim dengan ilmu dan wawasan luas, mampu menjawab berbagai persoalan dan bisa memberikan penjelasan dan penerangan kepada masyarakat, yang dengannya ia menjadi orang yang dihormati. Banyak orang bermimpi menjadi orang yang kaya banyak harta sehingga bisa bersedekah dan selalu berbagi, yang dengan hal itu ia dikenal sebagai orang yang mulia. Dan, mayoritas kaum muslimin terutama para aktifis berusaha agar kelak bisa ikut andil dalam perjuangan Islam, sehingga bisa gugur di medan pertempuran, mati sebagai syahid di jalan Allah, dengan demikian ia akan mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah dan di mata manusia.

Benar-benar tidak mudah untuk mencapai tiga kedudukan tersebut dan tidak semua manusia mampu meraihnya. Dan ada janji akan pahala dan ganjaran yang agung dari sisi Allah bagi ke tiga golongan tersebut. Namun, mengapa mereka justru diancam akan dicampakkan ke neraka pertama kali? Kemanakah pahala amal mereka yang banyak itu???

Rasulullah saw pernah bersabda bahwa jika ada seseorang yang satu sujudnya diterima oleh Allah, niscaya dia masuk surga. Lalu Aisyah Radhiyallahu `Anha bertanya, lalu kemanakah pahala ruku` dan sujud kebanyakan manusia?? Rasul Shallallahu `Alaihi wa Sallam menjawab, semuanya dimakan oleh riya’.

Iya, riya’ lah yang telah menghancurkan bangunan pahala yang telah dibangun oleh hamba-hamba Allah yang tertipu. Riya’ lah yang membakarhanguskan pundi-pundi amal yang dipersiapkan oleh manusia-manusia yang terperdaya.

Orang alim yang bangga dengan ilmunya dan senang apabila orang-orang memuji kepandaian dan keluasan ilmunya, para dermawan yang merasa senang apabila manusia menyebut-nyebut kebaikannya, dan orang berperang yang ingin gugur di medan pertempuran supaya orang-orang mengenangnya sebagai pahlawan yang gagah berani. Mereka itulah manusia yang bakal dicampakkan pertama kali dan menjadi bahan bakar api neraka. Kita berlindung kepada Allah dari tiga golongan tersebut.

Menyadari hal itu, mengingatkan kita akan pentingnya nilai keikhlasan, dan beratnya menjadi orang yang mukhlis.

Kita memohon kepada Allah semoga selalu memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita mampu menjaga keikhlasan pada setiap amal yang kita lakukan, dan kita bisa menyembunyikan amal-amal kita sebagaimana kita sembunyikan keburukan-keburukan kita. wallahu a`lam. (Sedikit perubahan redaksi)

Kairo, 24 Desember 2013

TETANG AL-HANIF





Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam semoga selalu tercurah limpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman. Amin.

Sesungguhnya menegakkan Islam di muka bumi ini adalah kewajiban dan tugas setiap muslim. Sebagaimana Allah perintahkan kepada hamba-Nya untuk menyerukan islam kepada sekalian manusia dengan berbagai jalan dan cara yang diridhai Allah Ta`ala. Tidak lain agar manusia menghambakan diri hanya kepada Allah dan terhindar dari segala macam noda-noda kesyirikan.

Melihat kondisi umat islam yang semakin jauh dari ajaran islam, ditambah lagi dengan makar-makar musuh islam yang selalu meyerang dari arah kiri dan kanan, atas dan bawah karena tidak ridha dengan kejayaan islam dan umatnya. Musuh-musuh islam tidak hanya memperburuk kehidupan jasmani dan materi kaum muslimin namun lebih-mereka memperburuk kehidupan rohani dan akidah umat islam dengan istilah "Ghazwul Fikr". Terlebih kaum pemuda generasi harapan umat yang telah banyak terpengaruh pemikiran ediologi dan kehidupan gaya barat sehingga akan merusak citra islam, serta banyak termakari baik berupa amaliyah maupun keyakinan. Melihat kondisi yang seperti ini maka menutut para da'i dan orang-orang yang peduli akan nasib saudara seimannya untuk saling bahu membahu dalam mengantisipasi dan menanganinya demi kejayaan islam dan kaum muslimin "Izzul Islam wal Muslimin".

Sekilas selayang pandang tentang Al-Hanif.

Pada kondisi dan fenomena yang sangat kritis yang sangat jauh dari nilai-nilai islam dan kemerosotan kaum muslimin baik dari segi amaliyah, akidah, ediologi, dan prinsip terdapat segolongan manusia dari umat islam yang senantiasa berada diatas kebenaran dan berdakwah di jalan Allah, dengan menyeru kepada yang ma`ruf dan melarang dari kemungkaran, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam: 

Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang selalu dalam kebenaran menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolongnya dan orang yang menyelisihinya sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas (kebenaran) yang demikian itu.” (HR.  Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu kami selaku bagian dari umat islam yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir merasa ikut terpanggil untuk memikul tanggung jawab dengan menjadikan Al-Hanif (kelompok study club) sebagai sarana untuk mengemban amanah Ilahi tersebut, Allah berfirman:

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". (Ali Imran :110)

Al-Hanif  adalah sebuah komunitas kelompok belajar yang didirikan pada tahun 1996 oleh beberapa mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir asal Indonesia dan masih eksis sampai sekarang  dengan keanggotaan tanpa memandang latar belakang kebangsaan, daerah, suku, dan ras, maupun almamater asal sekolah. Beranggotakan kurang lebih 50 mahasiswa dan mahasiswi Universitas Al-Azhar asal Indonesia, dengan beberapa kegiatan yang dilaksanakan dalam mingguan, bulanan, dan insidental semuanya dikemas dalam diskusi, kajian kitab, dan lain-lain. 

Beberapa Tujuan Al-Hanif :

1. Menyeru manusia untuk beribadah hanya kepada Allah semata.
2. Mengajak Umat Islam untuk meniti jalan Islam yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
3. Mengingkatkan keilmuan serta wawasan Islam.
4. Membantu kaum muslimin dalam membendung gerakan pemikiran-pemikiran yang salah dan melenceng dari nilai-nilai Isla.
5.Ikut andil dalam menyongsong kejayaan Islam dan kaum muslimin.