Oleh : Asrizal Mustafa Lc.
Mukadimah
Sebagian orang anti dengan buku-buku tafsir yang didalamnya terdapat
israiliyat dan hadis-hadis palsu. Mereka mengangap bahwa hal itu
adalah ancaman bagi islam. Karena itu mereka berusaha menghalangi
manusia dari menelaah buku-buku tersebut. Bahkan ada sebagian orang yang
bermaksud melenyapkan keberadaan buku-buku tersebut dari peredaran,
demi menjaga kemurnian islam.
Akan tetapi pandangan seperti ini adalah suatu hal yang berlebihan.
Karena dalam buku-buku tersebut menyimpan banyak ilmu-ilmu yang
bermanfaat dan juga pengetahuan keislaman yang bisa diambil. Hal-hal
yang baik dalam buku-buku tersebut lebih banyak daripada yang buruk.
Apakah dibenarkan dengan alasan untuk menghilangkan yang buruk justru
kita menghilangkan banyak kebaikan?! Sedangkan terdapat banyak ulama
yang bisa memisahkan antara yang sahih dan yang dha’if.
1. Sebagian mereka berinisiatif memisahkan israiliyat dan hadis-hadis
palsu dari buku-buku tafsir, mengumpulkannya menjadi satu buku untuk
kemudian dijauhkan dari peredaran orang-orang awam. Kemudian
menyebarluaskan buku-buku yang sudah bersih dari israiliyat dan
hadits-hadits palsu. Pendapat kedua ini tidak terlalu berlebihan. Akan
tetapi mungkinkah hal ini dilakukan?!
Dan juga, meskipun israiliyat dan hadits palsu tersebut tidak
memiliki nilai dalam syariat agama kita jika dinisbatkan kepada Nabi Saw
maupun sahabat karena hal tersebut tidak murni ajaran islam, tetapi
dimata sebagian pengkaji mempunyai nilai ilmiyah. Karena israiliyat
tersebut dapat menceritakan pengetahuan suatu kaum pada suatu masa.
2. Sebagian yang lain menginginkan israiliyat dan hadits palsu tetap
ada dalam buku-buku tafsir. Namun dengan memberikan catatan bahwa itu
adalah ‘dakhil’ dalam islam, serta memberikan bantahan secara ilmiah
supaya manusia selamat dari sisi negatif riwayat-riwayat tersebut.
Definisi Israiliyat dan Hadis Maudhu’
A. Israiliyat
Israiliyat adalah kata bentuk jamak dari kata Israiliyah yang merupakan
isim yang di-nisbat-kan kepada “Israil”, berasal dari bahasa Ibrani yang artinya “Hamba Tuhan”. Dan yang dimaksud dengan Israil dalam konteks ini adalah Nabi Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim As.
[1]
Ibn Katsir dan lainnya menyebutkan dalil bahwa Ya’qub adalah Israil
melalui hadis riwayat Abu Dawud Al-Tayalisi dari Abdullah ibn Abbas ra.
yang menyatakan: “Sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi Saw., lalu
beliau bertanya kepada mereka : “Tahukah kalian bahwa sesungguhnya Israil
itu adalah Nabi Ya’qub As.?” Mereka menjawab: “Benar”. Kemudian Nabi
berkata: “Wahai Tuhanku, saksikanlah pengakuan mereka ini!”.
[2]
Secara terminologis, Ibnu Qayyim menjelaskan, bahwa israiliyah
merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadits di mana
periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik
menyangkut agama mereka atau tidak. Dan kenyataannya kisah-kisah
tersebut merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang
masuk ke Jazirah Arab yang di bawa orang-orang Yahudi.
[3]
Para ahli tafsir dan hadits juga beberapa cendikiawan muslim lainnya menggunakan istilah tersebut dalam arti yang beragam.
Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah memaparkan Israiliyat sebagai
berikut : “Cerita, dongeng, khurafat, yang dibuat oleh sumber Yahudi
untuk menimbulkan keraguan terhadap ajaran Islam dan memalingkan manusia dari ajarannya”.
[4]
Husain Al-Zahabi mengemukakan masalah ini dalam dua pengertian:
1. Kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadits,
yang asal periwayatannya kembali kepada sumber Yahudi, Nasrani, atau
yang lain.
2. Sebagian ahli tafsir dan hadits memperluas lagi pengertian
Israiliyat ini sehingga mencakup pula cerita-cerita yang sengaja
diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits, yang
sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
[5]
Adapun Dr. Ahmad Khalil mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Israiliyat itu ialah kisah-kisah dan riwayat-riwayat dari ahli kitab, baik yang ada hubungannya dengan ajaran-ajaran agama mereka maupun yang tidak ada hubungannya. Ringkasnya, kisah-kisah itu diriwayatkan dari jalan mereka.
[6]
Menurut Amin Al-Khuli, kisah-kisah Israiliyat itu merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang merembes masuk ke jazirah Arabi Islam karena memang sebagian kisah-kisah itu dibawa oleh orang-orang Yahudi yang sudah sejak dahulu kala berkelana ke arah timur menuju Babilonia dan sekitarnya serta ke arah barat menuju Mesir. Setelah kembali ke negeri asal,
mereka membawa pulang bermacam-macam berita keragamaan yang dijumpai di negeri-negeri yang mereka singgahi.
[7]
Bahkan sebagian Ulama Tafsir dan hadis telah memperluas makna
israiliyat menjadi cerita yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik
yang datang dari Yahudi maupun dari sumber-sumber lainnya. Hal demikian
itu lalu dimasukkan kedalam tafsir dan hadis, walaupun cerita itu bukan
cerita lama dan memang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang sengaja akan
merusak akidah kaum Muslimin. Dan ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka
membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita-cerita dan
kisah-kisah keagamaan. Dan di saat membaca kisah-kisah dalam Al Quran
terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam
kitab-kitab mereka.
Para sahabat menaruh perhatian khusus terhadap kisah-kisah yang
mereka bawakan. Mereka tidak menerima begitu saja segala apa yang
diterangkan oleh ahli kitab. Mereka teliti terlebih dahulu kebenarannya
sebatas kemampuan mereka. Dan apabila ternyata yang diberitakan itu
salah, mereka tidak segan-segan menolaknya. Sesuai pesan Rasulullah Saw.
dalam haditsnya:
ولا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم, وقولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا… (رواه البخاري)
“Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli kitab dan jangan
pula mendustakannya, tetapi katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan
kepada apa yang diturunkan kepada kami…” (HR. Bukhari) Dan dalam hadis lain Nabi memperingatkan para penyampai berita
maupun kisah-kisah itu agar tidak menyimpang dalam menceritakannya.
بلغوا عنى ولو آية, وحدثوا عن بنى اسرائل ولا حرج, ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (أخرجه البخارى)
“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari
Bani Israil karena yang demikian tidak di larang. Tetapi barangsiapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya
di neraka (HR. Bukhari).
Dua hadist tersebut tidak bertentangan karena yang pertama
menyiratkan kemungkinan benar dan salahnya sebuah cerita, sedang hadist
berikutnya menunjukkan kebolehan menerima cerita dari Bani israil,
meskipun harus dengan aturan yang ‘sangat ketat’, diantaranya adalah
kejelasan Sanadnya.
B. Hadis Maudhu’ (Palsu)
Secara etimologis merupakan bentuk isim Maf’ul dari يضع – وضع. Dalam
bahasa arab kata وضع memiliki beberapa makna. Antara lain menggugurkan,
mengada-ada, dan membuat-buat.
Sedangkan menurut istilah, Imam Nawawi mengatakan:
هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ،
وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ فِيْ أَيِّ مَعْنًى كَانَ
إِلاَّ مُبَيَّناً.
“Hadis maudhu’ (palsu) adalah hadits yang yang direkayasa,
dibuat-buat, dan hadits dhaif yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah
haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan apapun kecuali
disertai dengan penjelasan”.
[8]
Inti dari penjelasan Imam Nawawi di atas adalah hadis maudhu’ itu
sebenarnya bukanlah hadis Nabi, tetapi dipalsukan sebagai hadis Nabi.
Pemalsu hadis mengatakan bahwa apa yang diriwayatkannya adalah hadis
Nabi, padahal sebenarnya bukan hadis. Isi hadis palsu tidaklah selalu
buruk atau bertentangan dengan ketentuan umum ajaran Islam. Hal itu
dapat dimengerti bahwa sebagian dari tujuan pembuatan hadis maudhu’
adalah untuk kepentingan dakwah dan ajakan hidup yang zuhud. Walaupun
demikian haram hukumnya meriwayatkan hadis maudhu’ kecuali dengan
penjelasan kepalsuannya.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta atas diriku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
Jika dilihat dari konteksnya, setidaknya ada dua bentuk hadis maudhu’:
- Perkataan itu berasal dari pemalsu, kemudian disandarkan kepada Rasulullah Saw., sahabat maupun tabiin.
- Pemalsu mengambil perkataan itu dari sebagian sahabat, tabiin, sufi,
ahli hikmah, orang zuhud atau israiliyyat dan kemudian disandarkan
kepada Nabi Saw.[9]
Contoh hadis maudhu’ yang diambil dari perkataan sahabat adalah:
أحب
حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما, وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون
حبيبك يوم ما
[10]
Yang benar perkataan tersebut adalah milik Ali ra., dan bukan hadis Nabi Saw. Tema israiliyat yang banyak dinisbatkan kepada Nabi, sahabat maupun
tabiin adalah kisah awal mula penciptaan, kisah umat terdahulu,
penciptaan alam semesta, kisah para nabi dan lain sebagainya.
Hukum Berdusta Atas Nama Nabi
Menurut jumhur ulama berdusta atas nabi merupakan dosa besar.
Pelakunya tidak sampai kafir, kecuali ia melakukannya dan menghalalkan
berdusta atas nabi. Bahkan imam Abu Muhammad Al Juwaini sangat keras
dalam hal ini. Ia berkata: “Telah kufur siapa saja yang dengan sengaja
berdusta atas nabi”. Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
berdusta atas namaku tidak sebagaimana berdusta atas nama orang lain.
Maka barangsiapa yang berdusta secara sengaja atas namaku maka hendaknya
dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdusta atas nama sahabat maupun tabiin masuk dalam kategori
mendustakan nabi. Namun hukum berdusta atas nama sahabat dan tabiin
tidak seperti berdusta atas nabi yang bisa sampai kufur. Tidak masuk berdusta atas nabi, periwayatan hadist dengan makna.
Sebagaimana ulama membolehkannya, dengan catatan ia paham betul dengan
lafaz dan maksud hadits secara terperinci.
Hukum Periwayatan Israiliyat
Banyak dalil baik dari Al Qur’an maupun sunnah yang melarang
periwayatan israiliyat. Namun tidak sedikit pula dalil yang
membolehkannya. Maka kita akan memilih jalan tengah diantara keduanya.
Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Riwayat Israiliyat yang sesuai dengan syariat kita, boleh kita
percayai dan boleh meriwayatkannya. Riwayat yang menyelisihi syariat
kita, kita tidak boleh mempercayai riwayat tersebut, dan haram
meriwayatkannya kecuali dengan keterangan akan kebatilannya. Adapun
riwayat yang kita tidak mengetahui kebenaran ataupun kebohongannya, kita
tawaquf dengan tidak membenarkan ataupun mendustakannya. Dan boleh
hukumnya untuk sekedar meriwayatkannya. Karena kebanyakan riwayat
tersebut hanyalah kisah-kisah umat terdahulu dan tidak berkaitan dengan
akidah.
[11]
Hal ini sesuai dengan pesan nabi Saw.: “Jangan kamu benarkankan ahli
kitab itu dan jangan pula kamu dustakan mereka, dan katakana lah kami
beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”.(HR. Bukhari)
Pengaruh Kisah Israiliyat
Akibat negatif yang ditimbulkan oleh adanya riwayat-riwayat
Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir, karena mengandung kebatilan, antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Riwayat-riwayat itu dapat merusak aqidah umat Islam sebagai contoh,
riwayat yang dibawakan oleh Muqatil maupun Ibn Jarir tentang kisah Nabi
Daud As. dengan isteri salah seorang panglimanya, demikian pula kisah
Nabi Muhammad Saw. dengan Zainab binti Jahri. Kedua riwayat itu dapat
memberikan gambaran yang keji terhadap pribadi-pribadi Nabi yang ma’shum
dengan gambaran sebagai manusia yang didukung oleh hawa nafsu.
2. Riwayat-riwayat tersebut dapat memberikan gambaran seakan-akan Islam
itu agama khurafat, takhayul yang menyesatkan. Sebagai contoh antara
lain ialah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi dari Ibn Abbas Ra.
tentang arti kata Ra’dun: “Orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi Saw.
tentang ‘guruh’ : ‘Apakah sebenarnya guruh itu?’ Nabi menjawab, ‘Guruh
itu adalah malaikat yang diberi tugas menjaga awan dengan membawa
alat-alat pembakar dari api yang digunakannya untuk mengendalikan awan
menurut kehendak Allah’. Kemudian mereka bertanya lagi, ‘Lalu suara yang
kita dengar itu sebenarnya apa?’ Nabi menjawab, “Suara itu adalah
bentakan malaikat tatkala membentak awan sehingga awan itu menurut
kepada kehendak Allah’. Kemudian mereka berkata, ‘Engkau benar, wahai
Muhammad”.
[12]
3. Riwayat-riwayat tersebut hampir dapat menghilangkan kepercayaan terhadap sebagian ulama salaf, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in seperti Abu Hurairah, Abdullah ibn Salam, Ka’ab Al-Ahbar dan Wahab ibn Munabbih yang oleh sementara orientalis seperti Goldzihe dalam bukunya, Muzahaib Al-Tafsir Al-Islami, diisyukan sebagai orang-orang yang sengaja diselundupkan ke dalam Islam oleh musuh-musuhnya.
[13]
Tuduhan serupa telah dilontarkan pula oleh beberapa penulis muslim
seperti Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya, Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyah, dan dengan cara terselubung oleh Dr. Ahmad Amin dalam
Fajr Al-Islam. Bahkan Al-Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengambil
sikap yang jauh berbeda sebagaimana dikatakannya: “Dan kebanyakan
Israiliyat itu merupakan khurafat dan kepalsuan yang dibenarkan begitu
saja oleh para perawi sampai pula oleh sebagian perawi dari kalangan
shahabat”.
[14]
- Riwayat ini hampir menyita perhatian manusia dari mendalami maksud
diturunkannya Al-Quran menuju kepada pembahasan sepele yang sedikit
sekali faedahnya. Sebagai contoh antara lain tentang nama dan warna
anjing Ashab Al-Kahf dan nama-nama binatang yang diikutsertakan dalam
bahtera Nabi Nuh As. Memang menurut Ibn Katsir, perincian hal tersebut
tidak ada faedahnya untuk diketahui. Andaikata hal itu ada faedahnya,
niscaya Al-Quran menyebutkannya.
- Riwayat-riwayat tersebut hampir menimbulkan sikap apriori terhadap
hampir semua kitab tafsir di kalangan sebagian peminat ilmu tafsir
karena, menurut persangkaan mereka, semua kitab itu berasal dari sumber
yang sama.
Diantara Tokoh-Tokoh Israiliyat
Menurut Al-Qattan, kebanyakan riwayat yang disebut Israiliyat itu
dihubungkan kepada empat nama yang terkenal yaitu, Abdulah Ibn Salam,
Ka’b Al-Akhbar, Wahab Ibn Munabbih, dan Abd Al Malik Ibn Abd Aziz Ibn
Juraij.
[15] Berikut ini akan dikemukakan selintas tentang identitas keempat tokoh tersebut, terutama penilaian ahli hadis tentang
‘adalah mereka, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dan keabsahan riwayat mereka.
1. Abdullah Bin Salam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdulah Ibn Salam Ibn Harits
Al-Israil Al-Anshari. Semula ia bernama “Al Hashin” yang diubah oleh
Rasulullah menjadi Abdullah ketika ia menyatakan keislamannya sesaat
sesudah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah. Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah. Ada dua ayat AlQuran yang diturunkan berkenaan dengan dirinya.
[16]
Dia termasuk di antara para sahabat yang diberi kabar gembira masuk
surga oleh Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan Islam, dia termasuk
mujahid di Perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan
Bait Al-Maqdis ke
tangan kaum Muslimin bersama Umar ibn Khathab. Pada waktu Khalifah
Utsman Ibn Affan dikepung oleh kaum pemberontak, dia ke luar menemui
mereka atas izin Khalifah untuk membubarkannya, tetapi
nasihat-nasihatnya tidak didengar mereka, malah dia diancam mau dibunuh.
Dia meninggal di Madinah pada tahun 43 H. Sebagai seorang sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Salam juga banyak
meriwayatkan hadis dari beliau. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan
darinya oleh kedua putranya yaitu Yusuf dan Muhammad, ‘Auf Ibn Malik,
Abu Hurairah, Abu Bardah Ibn Musa, ‘Atha Ibnu Yasar, dan lain-lain. Imam
Al-Bukhari juga memasukkan beberapa buah hadis yang diriwayatkannya dan
Rasulullah dalam
Jami’ Shahih-nya.
Dan segi ‘adalah-nya, kalangan ahli hadis dan tafsir tidak ada yang meragukan. Ketinggian ilmu pengetahuannya diakui sebagai seorang yang paling ‘alim di
kalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk Islam dan sesudah masuk
Islam. Dalam pandangan Mu’adz Ibn Jabal, ia termasuk salah seorang dan
empat orang sahabat yang mempunyai otoritas di bidang ilmu dan iman.
Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat yang disandarkan
kepadanya; di antaranya Tafsir Ath Thabari. Meskipun demikian,
dimungkinkan pula bahwa di antara riwayat tersebut ada yang tidak
mempunyai sanad yang benar kepadanya.Oleh sebab itu, menurut
Adz-Dzahabi, dapat saja ada di antara riwayat-riwayat itu yang tidak
bisa diterima.
2. Ka’ab Al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab Ibn Mani Al-Himyari. Kemudian
beliau terkenal dengan gelar Ka’ab Al Akhbar, karena kedalaman ilmu
pengetahuannya. Dia berasal dan Yahudi Yaman, dan keluarga Zi Ra’in, dan
ada yang mengatakan dari Zi Kila’. Sejarah masuk Islarnnya ada beberapa
versi. Menurut Ibn Hajar, dia masuk Islam pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Khathab, lalu berpindah ke Madinah, ikut dalam
penyerbuan Islam ke Syam, dan akhirnya pindah ke sana pada masa
pemerintahan Khalifah Utsman Ibnu Affan, sampai meninggal pada tahun 32 H
di Horns dalam usia 140 tahun. Ibn Sa’ad memasukkan Ka’ab Al-Akhbar dalam tingkatan pertama dan
tabi’in di Syam. Sebagai seorang tabi’in, ia banyak meriwayatkan
hadis-hadis dan Rasulullah secara mursal, dan Umar, Shuhaib,
dan Aisyah. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Atha bin Rabah, dan lain-lain.
Dan segi kedalaman ilmunya, beberapa orang sahabat seperti Abu Darda
dan Mu’awiyah mengakuinya. Malah menurut Abdullah Ibn Zubair, dia
mempunyai semacam prediksi yang tepat. Di samping itu, sekalipun telah
masuk Islam, beliau masih tetap membaca dan mempelajari Taurat dan
sumber-sumber Ahli Kitab lainnya.
Adapun dan segi ‘adalah, tokoh ini termasuk seorang yang
kontroversi. Namun, Adz-Dzahabi tidak sependapat, malah menolak segala
alasan sebagian orang yang menuduh Ka’ab sebagai pendusta, malah
meragukan keislamannya. Dia beralasan, antara lain bahwa para sahabat
seperti Ibn Abbas dan Abu Hurairah, mustahil mereka mengambil riwayat
dan seorang Ka’ab yang pendusta. Malah para muhadditsin seperti Imam Muslim juga memasukkan beberapa hadis dan Ka’ab ke dalam kitab Shahih-nya. Begitu pula yang lainnya seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai juga melakukan hal yang sama dalam kitab Sunan mereka. Sehingga menurut Adz Dzahabi, tentu saja mereka menganggap Ka’ab sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah. Di
lain pihak, Ahmad Amin dan Rasyid Ridha menuduh Ka’ab sebagai seorang
pendusta, tidak dapat diterima riwayatnya, malah berbahaya bagi Islam.
Mereka beralasan, karena ada sementara muhadditsin yang sama sekali
tidak menerima riwayatnya seperti lbn Qutaibah dan An-Nawawi, sedangkan
Ath-Thabari hanya sedikit meriwayatkan darinya, malah dia dituduh
terlibat dalam pembunuhan Khalifah beberapa hari sebelum terbunuh. Akan
tetapi, alasan Amin dan Rasyid Ridha yang memperkuat pendapat Ibnu
Taimiyah sebelumnya, dibantah tegas oleh Adz-Dzahabi yang tetap
beranggapan bahwa Ka’ab Al-Akhbar adalah seorang yang cukup ‘adil dan tsiqah. Meskipun demikian, tokoh Ka’ab Al-Akhbar tetap dianggap sebagai tokoh Israiliyat yang kontroversial.
3. Wahab Bin Munabbih
Nama lengkapnya adalah Abu Abdilah Wahab Ibn Munabbih Ibn Sij Ibn
Zinas Al-Yamani Al-Sha’ani. Lahir pada tahun 34 H dari keluarga
keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman, dan meninggal pada tahun
110 H. Ayahnya, Munabbih Ibn Sij masuk Islam pada masa Rasulullah SAW.
Wahab termasuk di antara tokoh ulama pada masa tabi’in. Sebagai
seorang muhaddits, dia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Abu Hurairah,
Abu Sa’id Al-Hudry, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn ‘Amr Ibn Al-’Ash, Jabir,
Anas dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh
kedua orang anaknya yaitu Abdullah dan Abd Al-Rahman, ‘Amr Ibn Dinar dan
lain-lain. Imam Bukhari, Muslim, Nasal, Tirmidzi, dan Abu Dawud
memasukkan hadis-hadis yang diriwayatkan Wahab ke dalam kitab kumpulan
hadis mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka menilainya sebagai
seorang yang ‘adil dan tsiqah.
Sebagaimana Ka’ab, Wahab juga mendapat sorotan tajam dan sementara
ahli yang menuduhnya sebagai seorang pendusta dan berbahaya bagi Islam
dengan cerita-cerita Israiliyat yang banyak dikemukakannya. Akan tetapi,
Adz-Dzahabi juga membela Wahab, meskipun dia juga mengakui ketokohan
Wahab di bidang cerita-cerita Israiliyat. Namun, dia menganggap pribadi
Wahab sebagai sosok yang ‘adil dan tsiqah sebagaimana penilaian mayoritas muhadditsin, seperti
disebut di atas. Di samping itu, diakui pula kealiman dan kesufian
hidupnya. Dengan mikian, dia juga seorang tokoh yang kontroversial.
2. Abd Al-Malik Ibn Abd Al-’Aziz Ibn Juraij
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid (Abu Al-Khalid) Abd Al-Malik Ibn
Abd Aziz Ibn Juraiz Al-Amawi. Dia berasal dan bangsa Romawi yang
beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H di Mekah dan meninggal pada
tahun 150 H. Dia terbilang salah satu tokoh di Mekah dan sebagai pelopor
penulisan kitab di daerah Hijaz. Sebagai seorang Muhaddits, dia banyak
meriwayatkan hadis dan ayahnya, Atha Ibn Abi Rabah Zaid Abi Aslam,
Az-Zuhri, dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali
oleh kedua orang anaknya yakni, Abd Al-Aziz dan Muhammad, Al-Auzai’
Al-Laits, Yahya Ibn Hanbal yang menilai hadis-hadisnya banyak yang maudhu’. Kelemahannya,
menurut penilaian Imam Malik, dia tidak kritis dalam mengambil
riwayatnya dari seseorang, sehingga Adz-Dzahabi memperingatkan para mufasirin supaya menghindari masuknya riwayat Ibn Juraij ke dalam karyanya, karena dianggap sebagai suatu karya yang lemah.
Makalah disampakan dalam kajian mingguan rumah bawah Hay Sabe`.
[1] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah As-sunnah, 1426 H.
[2] Ahmad Muhammad Syakir,
Umdah Al-Tafsir ‘An Al-Hafidz Ibn Katsir, 1, Dar Ma’arif, Mesir, 1956
[3] Ibn Qayyim Al-Jauziyah: -Sukardi KD,Ed:,
Belajar Mudah ‘Ulum Al Quran;277
[4] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah As-sunnah, 1426 H.
[5] Husain Al-Zahabi,
Al-Israiliyat Fi Al-Tafsir Wa Al-Hadits, Majma’ Al-Buhus Al-Islamiyah, Kairo, 1971
[6] Ahmad Khalil,
Dirasat Fi Al-Qur’an, Dar Maarif, Mesir, h. 113
[7] Ahmad Al-Khuli,
Manahij Al-Tajdid, Dar Ma’rifah, Cairo, 1961, h. 277
[8] Imam Nawawi,
at-Taqrib, juz 1, hlm. 6.
[9] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah As-sunnah, 1426 H.
[10] Imam Bukhari,
Adab al Mufrad
[11] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah As-sunnah, 1426 H.
[12] Al-Qurthubi,
Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Cairo, 1967, h. 217
[13] Ignaz Goldziher,
Mazahaib Al-Tafsir Al-Islam, alih bahasa Abd. Halim Al-Najjar, Makatabah Al-Islami, Mesir, 1995, h. 87
[14] Al-Sayyid Muhammad Ridha,
Tafsir Al-Manar, I, Dar Al-Manar, Cairo, 1373 H, h. 8
[15] Ahmad Amin,
Dhuha Al-Islam, (Mesir: Mathal ba’ah Lajnah Ai-Ta’lif wa Ai-Nasr,1952), Jiid II, him. 310
[16] Manna’ Al-Qattan,
Mahabis Fi ‘Lilumi Al Qu’ran (Mesir: Mansyurat Ai’Ashari AlHadis, 1973), cet. Ke—2, him. 355.